shining*

welcome to amel's blog :)

Jumat, 02 Desember 2011

cerpen #1

Long Distance is Killing Me,
Cinlok Ini Membunuhku…

              Hari ke dua puluh sejak aku jadian sama Patra. Selama dua puluh hari ini, nothing special. Terpisahkan oleh jarak yang jauuuuh sekali, jadi udah sure lah kalo ga kan ada hal special apapun. Selain sms atau telepon seperti biasanya. Cih…
Sebenarnya apa sih yang bikin aku bisa jadian sama dia?
Aku sendiri juga bingung. Perasaan sayangku ga bisa bikin aku bilang ‘enggak’ waktu itu. Tapi perasaan sayangku juga ga bisa berubah jadi cinta. Jadi siapa donk yang salah? Salahku? Salah temen-temenku??
              Yah, setidaknya sampai sekarang aku masih punya tekat untuk mempertahankan hubungan jarak jauh yang menyakitkan ini. Hiks.
         
              Hari ketiga sejak aku masuk rumah sakit, kena infeksi lambung. Selama tiga hari ini, nothing special. Yaiyalah, di tempat kayak gini apa sih yang bisa diharapkan ada. Selain infus, jarum suntik, dokter, suster, dan… perawat ganteng yang mengalihkan duniaku sejak pertama menghirup nafas tak beraturanku di UGD. Gubrakk.
              Mas Fendy, kalau perawat cowok apa juga dipanggil suster ya, ga pentinglah, dia itu perawat yang dapat tugas dampingin aku di UGD. Trus nganterin aku USG sampai nganter ke kamar rawat. Waktu itu aku mesti USG karena ada dokter gajebo yang seenaknya memvonis aku kena usus buntu. Mas Fendy juga ada di salah satu perawat yang bertugas nge-check infus, obat, dan tensi darahku setiap jam 8, 10, 14, 16, dan 20. Bahkan dia juga yang pasang infus obatku setiap jam 4 pagi. Karena perawat cowok yang biasa aku lihat cuma 3 orang, yang satu udah berumur dan yang satu lagi kulit hitam kayak orang Papua, jadi mas Fendy yang ‘pemuda’ banget itulah yang bisa merebut hatiku waktu itu (wkakaka.. alibi). Ga mungkinlah kalau aku itu beneran naksir sama dia. Dia kan perawatku sendiri. Memang sudah tugasnya begitu, perhatian dan lembut melayani pasien. Jadi ga lucu kalau aku jadi terlibat cinta lokasi kayak pemain sinetron kejar tayang. Yah, kurang lebih seperti itulah. Anggap aja begitu.
              Kenapa begitu, karena mas Fendy ga pernah ngasih aku respon (huaaa kasian banget). Waktu lagi bosen-bosennya pernah aku iseng jalan sendiri ke teras belakang kamar, dan aku lihat dia lagi sama seorang suster. Mesra gitu, sepi sih. Jadi aku ambil kesimpulan kalau mereka udah pasti pacaran (mereka duluan deh yang kena cinlok) soalnya waktu itu si suster sempet cium tangan kayak orang pamitan mau kemana gitulah. Hmmm……
              “Yah, emang udah duluan suster itu yang disini. Lebih lama dia juga pasti kan. Ah, apaan sih. Dia juga ga ganteng-ganteng amat. Gantengan juga Patra. Hihihihi……. (mencoba menghibur diri sendiri).” gumamku waktu itu di teras belakang kamar, tapi tiba-tiba…
              “Kayaknya kamu salah masuk rumah sakit deh.”
              “Ngh??”
              “Disini rumah sakit umum, bukan rumah sakit jiwa.”
              “Oya? Makasih.” kataku, kemudian berbalik ke dalam. Malas sekali berurusan dengan orang yang baru ketemu udah ngatain aku ga waras.
              “Eh, tunggu dulu. Aku tadi cuma becanda.” spontan aku berhenti. “Habis kamu ngomong dan ketawa sendiri. Tadinya aku pikir bener kata orang kalau disini ada hantunya, waktu aku keluar, eh ada kamu. Dan aku yakin kamu bukan penampakan kan?”
              “Baru aja minta maaf, udah mulai lagi.”
              “Iya-iya. Aku minta maaf lagi deh.” cowok bertubuh kurus tapi tidak terlalu tinggi itu mengulurkan tangan padaku. “Namaku Abimael, tapi kamu boleh panggil aku Abel.”
              “Abel.”
              “Nama kamu Abel juga?”
              “Iya, tapi bukan Abimael. Abelia.” aku melepaskan jabatannya yang hangat. “Kamu sakit apa?” tanyaku sambil melirik ke botol infusnya.
              “Nggg… ini ya, ga sakit apa-apa kok, cuma gejala tifus aja.”
              “Tapi kayaknya kamu udah lama disini, aku disini baru tiga hari dan kalau ga salah kamu udah ada di kamar sebelah itu duluan kan?”
              “Aku juga baru tiga hari ini kok. Mungkin kita selisih beberapa jam aja. Oiya, kamu sendiri kenapa sampai bisa terdampar di tempat terkutuk ini?”
              “Apa?” aku tertawa kecil mendengar istilah konyolnya. “Infeksi lambung.”
              “Kamu pasti kebanyakan diet kan?”
              “Enggak kok. Enak aja.”
              “Becanda.” cowok itu mengusap wajahnya yang pucat. “Infeksi lambung itu kalau ga salah bisa disebabkan karena pikiran juga kan?”
              “Mmmm….”
              “Mungkin selama ini kamu terlalu banyak pikiran, banyak beban, dan sering sakit hati. Sering disakitin sama cowok kamu ya?’
              “Idih, apaan sih kamu. Enggak juga.”
              “Kalau gitu kamu pasti orangnya pemikir. Makanya hal kecil pun bisa jadi beban buat kamu. Kalau mau cepet sembuh kamu mesti rileks, jangan tegang, jangan mikir berat juga. Makan juga harus dijaga tuh. Jangan makan asem, pedes…”
              “Kamu sebenernya pasien apa dokternya sih?”
              “Hehe… Sepupuku dulu ada yang infeksi lambung juga. Makanya aku banyak tahu.”
              “Mas Abel.” tiba-tiba seorang suster muncul dari kamar cowok itu.
              “Iya suster.” Abel menoleh kebelakang sebentar. “Abel, duh agak aneh manggil kamu, lain kali kita ngobrol lagi ya. Daag…”
              “Dasar cowok aneh.”

              “110/70.”
              “Normal kan?” tanyaku. Mas Fendy cuma senyum sambil mengemas peralatan tensinya. “Termometernya.”
              “36. Ga demam. Pusing? Mual?”
              “Enggak.”
              “Masih terasa sakitnya?”
              “Masih. Terutama kalau habis makan.”
              “Ini obatnya yang sebelum makan.” katanya sambil membuka dua pil yang harus kuminum sekaligus. “Diminum sekarang sekalian atau nunggu makan siang?”
              “Nanti aja.”
              “Ya sudah, mungkin makan siangnya datang sebentar lagi. Saya tinggal dulu.”
              “Mmm, mas.” Mas Fendy menoleh lagi kebelakang. “Pasien sebelah itu sudah lama dirawat disini?”
              “Oh, kamar 4? Sudah, Mbak.”
              Sudah lama ternyata, dia bilang bareng aku masuknya. Kenapa mesti bohong?

              Waktunya makan siang.
              Apa disini ga ada makanan lain yang lebih layak dikonsumsi. Atau mereka mau irit gas elpigi jadi ga ada yang dimasak sampai benar-benar matang. Mereka juga ga sempat ke warung untuk beli bumbu dapur mungkin. Hambar.
              Tok tok tok
              Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku ga akan seheran ini kalau yang diketuk itu pintu depan. Mungkin OB yang lagi ngepel teras belakang dan mau melanjutkannya ke dalam kamar.
              “Nggak dikunci mas.” kataku sambil tetap menyantap hidangan ‘enggak banget’ dihadapanku. “Silakan mas kalau mau dipel, tapi kamar mandinya lagi dipake sama ibu saya.”
              “Ngepel?”
              “Eh…”
              “Mana ada OB bawa-bawa infus begini?” cowok itu menutup pintu dan berjalan mendekati ranjangku. “Enak makan siangnya?”
              “Enak kok.” jawabku sedikit canggung. Kaget sekaligus malu setelah tahu siapa tamuku barusan, dan lagi aku udah ngira dia OB rumah sakit yang biasanya ngepel dua kali sehari.
              “Bohong.”
              “Hihihi… Kamu udah makan siang?”
              “Belum. Ga enak. Aku pengen pesen pizza, tapi ga mau makan sendiri.”
              “Maaf deh, aku ga boleh makan pizza.”
              “Yee… Siapa juga yang mau nawarin kamu.”
              “Urgh…” aku mengunyah daging setengah matangku dengan kesal.
              “Aku kan tahu kamu ga boleh makan macem-macem.”
         
              Akhir-akhir ini cowok yang punya nama sama kayak aku itu jadi sering berkunjung. Kalau pas aku di teras belakang dia pasti nyusul, kalau aku ga disana pun dia nekat masuk gitu aja ke kamarku. Heran, manja betul dia. Masa cuma gejala tifus aja diopname lama banget.
              “Ini handphonemu?” tanyanya kemudian. Dan belum sempat aku jawab dia sudah mengutak-atik ponselku ga tahu ngapain. “You Belong With Me lagunya Taylor Swift kan? Aku mau donk bluetooth.”
              “Terserah kamu aja deh.”
              “Eh, kamu ga papa kan?” responnya waktu aku nyengir kesakitan. “Ada obat sesudah makan?”
              “Ada, yang itu. Tolong donk.” aah, benci aku saat-saat begini. Setiap habis dilewati makanan lambungku selalu sakit. Tapi kalau aku ga makan malah makin parah sakitnya. “Makasih ya.”
              “Nevermind.”
              “Eh, ada tamu.” Ibuku baru keluar dari kamar mandi. “Pasien juga?”
              “Iya Tante. Saya Abel, pasien kamar sebelah.”
              “Namanya Abel juga. Sudah lama diopname? Sakit apa?”
              “Sudah Tante, sakit tifus.”
              “Ooo… sama kayak sodara tante dulu, tifus juga.”
              “Oya Tante?”
              “Iya. Dulu itu…”
              Dan dimulailah obrolan yang cukup panjang antara Bunda dan anak cowok yang namanya sama sama anaknya sendiri. Aku sendiri ga ngikutin topik obrolan mereka, sibuk sama nyeri di lambungku yang melilit-lilit. Sampai akhirnya aku ketiduran dan ga tahu kapan Abel balik.

              Menit ke dua puluh lima obrolanku sama Patra di telepon. Sejak hampir seminggu aku masuk rumah sakit ini adalah teleponnya yang kedua. Dan masih sama seperti telepon pertamanya beberapa hari lalu, temanya bukan keadaanku yang semakin membaik atau memburuk, tapi keadaannya, kerjaannya, kondisinya, teman-temannya, dan juga rencananya di akhir pekan. Aku bukannya mau bersikap egois, tapi setidaknya dia tanyakan gimana kabarku, sudah baikan belum, kapan boleh pulang… Aku heran karena ga ada nada khawatir sama sekali, bahkan waktu pertama kali dia tahu aku masuk rumah sakit. Aku masih ingat betul, beberapa minggu kemarin sms dan teleponnya selalu saja berisi sama. Kondisi kesehatannya lagi menurun, sering pusinglah, gampang capeklah, ga pernah dia tanya keadaanku. Kalau aku mengeluh sedikit pasti dia balas ‘apalagi badanku nih…bla bla bla’ sampai akhirnya aku opname kayak gini pikirku dia bakal sadar, paling tidak ya kagetlah. Tapi nyatanya, nol besar. Besaaaaarrr sekali.

               “Sayang kok diem aja sih? Kamu lagi BT ya.”
              “Enggak kok, ga papa.” gimana aku ga BT kalau setengah jam dia ngomong isinya cuma tentang aktifitasnya yang ga penting.
              “Kamu ga kangen ya sama aku? Aduh, kepalaku pusing banget nih. Tapi ga papa demi kamu aku masih kuat kok.”
              “Ya udah tidur aja sana.”
              “Beneran ga papa aku tidur duluan?”
              “Ga papa.”
              “Maaf ya sayang, habis kepalaku beneran pusing. Emang kamu lagi ngapain sih yank?”
              “Yang namanya di rumah sakit ya aku bisa apa? Fitnes?!” setelah itu aku langsung menutup teleponnya. Aku ga tahan setiap kali telepon dia selalu ngomong tentang dia dia dia dan dia.
              Mungkin bener kata dokter, salah satu hal yang bikin aku sakit begini adalah beban pikiran yang salah satunya berasal dari orang terdekatku sendiri, yaitu pacar. Mikirin dia emang ga akan ada habisnya. Yang ada cuma kesel, jengkel, BT. Apalagi kalau…
              Tok tok tok…
              Seseorang mengetuk pintu belakang. Kali ini aku ga lagi berpikir dia adalah OB rumah sakit. Perlahan aku turun dari tempat tidur, membawa serta infusku dan berjalan pelan ke arah pintu yang barusan dikunci Bunda sebelum pergi tadi.
              “Selamat pagi…” senyum manis Abel tepat di depan mukaku. “Kamu kelihatan beda hari ini. Sakit lagi ya? Tapi biasanya kalau kambuh kamu ga kayak gini deh.” cerocosnya sambil mengikutiku duduk di kursi teras belakang.
              “Ga papa kok.”
              “Kamu mesti inget kata dokter. Jangan mikirin aneh-aneh dulu, nanti kambuh lagi sakitnya.”
              “Iya aku tahu.” kataku memaksakan diri untuk sedikit tersenyum. “Kamu kelihatan udah baikan, tapi masih belum boleh pulang ya?”
              “Aku ga pengen pulang.”
              “Hah?”
              “Enakan disini.”
              “Kok gitu sih? Aneh kamu. Emang kenapa?”
              “Soalnya ada kamu.”
              “….”
              “Kok diem? Salah ya?”
              “Eh, enggak.” aku mencoba menyembunyikan wajahku yang kayaknya udah mirip udang rebus. “Oiya, kemarin seharian aku ga lihat kamu. Di kamarmu juga sepi. Aku pikir kamu udah pulang.” kataku kemudian mengalihkan pembicaraan.
              “Emang biasanya kamarku dipake dagang ya?”
              “Ya bukan gitu juga. Tapi kan biasanya kalau aku disini kamu pasti ikut keluar, kemarin pintu kamarmu rapet-rapet aja tuh.”
              “Aku ada kok, cuma kemarin aku banyak tidurnya.”
              “Oo… gitu ya.” kalau diperhatikan lama-lama cowok ini lumayan juga. Kulitnya putih bersih, tapi sayang dia terlalu kurus dan agak pucat. Yah, namanya juga orang lagi sakit wajar kalau kondisinya lemah seperti itu. Tapi sejujurnya dia itu adalah sosok cowok yang menyenangkan.
              “Kamu ada masalah ya? Cerita aja.”
              “Ga da papa kok.”
              “Ini nih yang bisa bikin kamu sakit. Jangan suka dipendam sendiri. Ungkapin aja biar kamu lega. Emang pacar kamu itu kayak apa sih?”
              “Apa?”
              “Iya, pacarmu yang di luar pulau itu.”
              “Kamu tahu…”
              “Kemarin kan aku sempet ngobrol banyak sama ibu kamu.”
              “Bunda cerita ke kamu?”
              “Tenang aja, aku bisa jaga rahasia kok. Lagian kemarin itu aku yang mincing-mancing ibu kamu buat cerita, jadi aku tahu banyak deh.”
              “Dasar kamu.”
              “Barusan yang telepon dia kan?”
              “Kamu nguping ya?!”
              “Enggak, swear. Tadinya aku pengen jenguk kamu, trus aku denger kamu lagi ngomong sendiri, eh maksudku di telepon. Habis kan ga kelihatan.”
              “Tapi kedengeran kan?!” kataku sebal.
              “Dikit aja kok.”
              “Ga tahu kenapa semuanya jadi kayak gini.” aku menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan kelimatku dan cerita senduku mengalir begitu saja.
              “Udah lama?”
              “Belum ada sebulan. Makanya aku bilang aku egois.”
              “Aku speechless.”
              “Yaudah diem aja deh kamu.” kemudian Abel-Abel ini ketawa berdua. “Makasih udah mau denger curhatanku ya.” kataku kemudian.
              “Hmm…”
              “Mas Abel, kemotherapi sebentar lagi.” seorang suster lagi-lagi muncul dari kamar Abel.
              “Kemo?”
              “Maksudnya ada dokter yang mau visit.”
              “Emang aku bego banget apa?”
              “Hahaha… itu aku sendiri yang kasih istilah. Biar kedengeran keren gitu. Aku masuk dulu ya.”
              “Dasar orang gila.”
              “Biarin.”
              “Oiya, Abel. Kata dokter besok aku udah boleh pulang.”
              “Oya? Kalau gitu besok ketemu disini dulu ya. Daag…”
     “Daag…”

              Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 21.30. Tapi tumben malam ini Abel ga ke kamarku. Biasanya sebelum tidur dia selalu menggangguku dengan lagu-lagu ga jelas dan suaranya yang pas-pasan. Ga tau kenapa akhir-akhir ini aku jadi lebih sering mikirin dia daripada mikirin Patra, cowokku sendiri. Yang jelas mikirin Abel itu bikin aku jadi senyum-senyum sendiri, kalau Patra, cuma bikin BT.
              “Udah malam, kamu kok belum tidur juga?”
              “Ga bisa tidur Bunda.”
              “Mikirin apa? Si Patra?”
              “Patra? Enggak ah Bunda, males.”
              “Terus? Abel?”
              “Ngh…”
              “Sama Patra dulu cinta lokasi, apa sekarang mau cinta lokasi juga sama Abel.”
              “Ih, Bunda ni apaan sih. Aku kan baru kenal sama Abel.”
              “Loh, apa masalahnya?”
              “Bunda dukung aku selingkuh nih? Wah, ngajarin ga bener.”
              “Sayang, Bunda cuma ga mau kamu terlalu ribet mikirin laki-laki yang bikin kamu jadi sakit kayak gini. Apapun kamu boleh lakuin asal kamu seneng. Bunda yakin kamu tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk diri kamu sendiri.”
              “Iya. Makasih ya Bunda.”

              Makan siangku yang menyedihkan. Aku hampir saja kabur dari tempat yang kata Abel tempat terkutuk ini. Kalau ga ada dia yang selalu ganggu aku mungkin aku bener-bener udah kabur. Mana bisa aku yang doyan makan mesti nikmatin nasi tumbuk, daging yang menurutku ga matang, dan daun-daunan. Udah kayak kambing. Tapi sejak sarapan pagi ini bahkan aku ga ngrasain hambarnya makananku. Aku cuma ngrasa heran karena aku ga lihat Abel sama sekali. Tadi pagi aku paksakan ke kamarnya tapi kosong. Apa mungkin dia udah pulang duluan. Tapi ga mungkin dia pergi tanpa pamit dulu sama aku.
              “Abel…” panggilan Bunda bikin aku kaget setengah mati. “Kamu kenapa? Ayo siap-siap, sebentar lagi kita pulang.”
              “Iy.. Iya, Bunda.”
              Biar bagaimanapun juga aku tetap ga bisa berhenti bertanya-tanya kemana cowok gila itu. Bodohnya, aku ga punya nomor handphonenya. Padahal waktu itu dia sempat pegang handphoneku.
              “Selamat siang.”
              “Siang…” argh, mas Fendy. Aku kira si Abel.
              “Sudah siap pulang Mbak, Ibu?”
              “Sudah ga betah ini Mas, kangen sama rumah.” jawab Bunda, sedang aku cuma senyum. “Ayo sayang.”
              “Silakan, Mbak.”
              “Mmm… Pasien sebelah udah check up ya?” tanyaku sambil perlahan duduk di kursi roda yang dibawa Mas Fendy barusan.
              “Mas Abel, namanya sama kayak Mbak itu, dia tadi pagi…”
              “Permisi…” baru keluar kamar, seorang suster tiba-tiba saja berdiri dihadapanku. “Mbak Abel, ini ada titipan surat dari temannya.”
              “Teman? Siapa?”
              “Kurang tahu Mbak. Permisi.”
              “Iya, makasih suster.” aku membolak-balikkan amplop polos yang baru saja kuterima. “Oiya, Mas. Pasien sebelah tadi gimana?” tanyaku sama Mas Fendy yang mendorong kursi rodaku dengan tenang. Salah satu layanan pasien, kalau masih lemes pulangnya bisa diantar pake kursi roda sampai depan rumah sakit.
              “Mas Abel itu sudah lama dirawat disini, Mbak.”
              “Emang sakit apa? Katanya tifus, kok lama banget?” tanyaku lagi sambil membuka surat kaleng dari suster tadi.
     “Cukup parah sakitnya, Mbak. Tapi memang dia orangnya nggak suka ngeluh, jadi kelihatannya saja baik. Setiap ada yang tanya memang dia selalu ngaku sakit tifus kok, Mbak.”
     “Emang sebenernya sakit apa?” tanyaku lagi sambil membaca suratku.
              “Dia mengidap leukemia, kanker darah. Kemarin itu dia sempat kritis, kemudian membaik, sudah kemotherapi lagi, tapi tadi malam kondisinya semakin menurun, tadi subuh meninggalnya. Jenazahnya langsung dijemput pihak keluarga, Mbak. Tadinya itu…”
     Dan entah apa lagi yang dikatakan perawat laki-laki yang sempat kukagumi itu. Semuanya menjadi begitu berat dan gelap. Hal terakhir yang bisa aku lihat adalah senyum manis cowok gila yang namanya mirip dengan namaku, dan tulisan tangan yang tidak terlalu bagus…

‘if you could see that I’m the one who understand you
been here all along
so why can’t you see, you belong with me
standing by and waiting at your backdoor all this time
how could you not know baby, you belong with me’
                                                Abimael

Tidak ada komentar:

Posting Komentar